Oleh: Delvi Yandra
Anggota AJI Padang
Eugene Luther Gore Vidal, seorang penulis buku terkenal The City and The Pillar berkebangsaan Amerika Serikat pernah mengatakan, sejak hadirnya Buzzsaw edisi pertama (2002) dunia kita telah berubah.
Kita bukan hanya disuguhi badai kebohongan dari pemerintah mengenai perang dan perdamaian, tetapi juga proses pengadilan yang gencar oleh korporat Amerika terhadap para pembocor kisah-kisah yang pernah dikumpulkan dalam Buzzsaw edisi kedua—sebuah buku yang disunting oleh Kristina Borjesson yang mengungkap mitos kebebasan pers di Amerika.
Kisah penindasan terhadap pers yang terjadi di Amerika barangkali tidak akan jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sebagian besar wartawan di Indonesia bekerja di belakang layar dan mereka ingin tetap seperti itu.
Mereka tidak pernah ingin menjadi cerita. Mereka hanya ingin menceritakannya. Yang lebih gila lagi, wartawan yang tahu dengan rahasia kotor dari “kekuasaan yang menjadi” berkat peliputan di lapangan, berusaha untuk tidak ingin memberitakannya melalui media. Betapa hitam dunia bisnis media.
Pameo yang berkembang di tengah masyarakat dan telah ditulis berkali-kali bahwa pers adalah serdadu atau barisan terakhir dari bangsa yang menjaga pemimpin agar senantiasa jujur dan demokratis. Tetapi, apa yang menjadi tugas seorang wartawan tentu harus bebas dari campur tangan atau kepentingan individu atau kelompok tertentu dan harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum. Seperti yang telah dijelaskan secara terang dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers.
Lahirnya UU No. 40 tahun 1999 ini tentu menjadi pilar penting dalam kebebasan pers yang bertanggung jawab. Tetapi faktanya, masih kita temukan wartawan yang seharusnya berfungsi sebagai ‘anjing penjaga’ telah menjelma sebagai ‘anjing piaraan’ yang dapat mencoreng sendi-sendi kewartawanannya, yakni mereka yang telah disulap atau menyulapkan diri ke lain fungsi. Tentu saja, hal ini terkait dengan hubungan antara wartawan dengan narasumber (pejabat publik) dimana wartawan selalu berkutat.
Kristina Borjesson mengibaratkan wartawan seperti ‘burung-burung kenari yang terbang di atas gergaji bundar’, yang dapat mencium bau busuk yang merebak di sekitarnya.
Masyarakat yang bergandengan dengan wartawan yang notabenenya cenderung belum sepenuhnya melek media dan tidak memahami bagaimana mekanisme media bekerja tentu saja akan menyulap hubungannya dengan pers sesuai dengan kepentingannya. Dan wartawan yang tidak mengerti dengan tugasnya sebagai wartawan akan mengambil setiap kesempatan yang datang padanya.
Dalam beberapa kasus, ada wartawan yang menjadi pegawai pemerintahan atau bekerja pada suatu instansi non-pemerintahan. Jelas, wartawan tersebut sudah tidak berada pada kebebasan yang sebenarnya. Pelbagai kepentingan berkelindan di dalamnya. Seperti gula yang larut di dalam teh, tidak bisa dipisahkan dan dibedakan mana yang gula dan mana yang teh.
Berbeda dengan wartawan yang bekerja secara professional dan mengaplikasikan tugasnya secara baik tanpa melanggar kode etik, sekaligus membuka usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup—diluar profesi utamanya sebagai seorang wartawan. Artinya, wartawan seperti ini tidak memiliki kepentingan mendasar kepada orang lain yang akan menekannya dalam pemberitaan.
Bayangkan, jika pemberitaan di media telah dikendalikan oleh penguasa atau pejabat publik tertentu. Saya jadi ingat kejadian pembredelan pers pada masa orde baru. Di tahun 1994, pemerintah membredel sejumlah media seperti Tempo dan deTIK.
Pers seakan-akan kehilangan jati dirinya dan mendapat tekanan yang maha dahsyat dari pemerintah yang berkuasa. Segala pemberitaan di media masa terus diawasi oleh Departemen Penerangan pada masa itu sehingga gerak pers semakin sempit dan membuat pers melakukan perlawanan sekaligus menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
Namun kini, pers masih kehilangan jati dirinya. Pers bersedia telanjang di depan pejabat publik dan menggantinya dengan pakaian dinas dan PDL. Barangkali ini yang disebut ‘jurnalisme sulap’ dimana pers kehilangan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UU No. 40 tahun 1999.
Beberapa tahun belakangan ini, sejumlah media besar dikendalikan oleh pejabat publik meskipun ada beberapa media yang ‘menyamarkan’ kepentingannya melalui pemberitaan yang sewajarnya. Saya pikir, sampai kapanpun pers tidak akan terlepas dari lingkaran setan semacam ini karena pers terus berkembang dan akan selalu berhubungan dengan segala aspek kehidupan.
Sementara itu, kebebasan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Di satu sisi, lebih tepat apabila wartawan yang melaksanakan tugasnya di lapangan dapat terlebih dahulu memahami kode etik jurnalistik dan undang-undang pers sehingga wartawan dapat bekerja pada koridornya, sejalan dengan kampanye kebebasan pers yang dielu-elukan selama ini.
Kampanye kebebasan pers tidak jauh-jauh dari rentannya pelanggaran kode etik. Keduanya seperti bola salju, semakin menggelinding maka akan semakin besar. Wartawan yang memahami kode etik saja masih dapat melakukan pelanggaran, apalagi mereka yang terus bersitungkin dengan kampanye kebebasan pers.
Dalam sebuah acara sulap di televisi, diperlihatkan betapa ilusi telah mengaburkan mata dan membuat kita terpesona. David Copperfield berusaha meyakinkan masyarakat bahwa apa yang dilakukannya benar-benar nyata. Di depan sebuah gedung bertingkat, di mana banyak orang-orang yang lewat, dia melakukan aksi yang mencengangkan dengan terbang tanpa bantuan apapun. Lalu, orang-orang yang menyaksikan kejadian itu akan langsung percaya atas apa yang dilakukan oleh David Copperfield.
Saya menganalogikan wartawan dengan pesulap dengan tiada maksud tertentu. Sebagai pembentuk opini publik, seperti halnya pesulap, wartawan harus sungguh-sungguh berpegang teguh pada data dan fakta serta menjalankan fungsinya sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999. Bukan semata ilusi. Bukan semata pemberitaan.
Barangkali, selain Jurnalisme Investigasi, Jurnalisme Bencana dan Jurnalisme Sastrawi, perlu juga ditulis sebuah buku dengan judul: Jurnalisme Sulap.
Sumber: Padangekspres