-->

Baik belum Tentu Tepat

Baik belum Tentu Tepat
Oleh : Donard Games
Dosen Manajemen Universitas Andalas

Seringkali kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus memilih antara yang baik dan buruk, dan itu memiliki konsekuensinya masing-masing. Namun demikian, lebih susah lagi untuk memilih antara yang baik dan tepat.
Menjadi seorang sarjana tentu bagus, tetapi belum tentu seseorang tepat untuk menjadi seorang sarjana. Di tataran individu demikian. Apatah lagi di tingkat kehidupan berbangsa yang menentukan hajat hidup orang banyak.

Pembukaan seperti ini dibutuhkan untuk membahas surat edaran dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mendapat perhatian luas, terutama dari kalangan perguruan tinggi. Banyak suara mempertanyakan dan bahkan menolak meskipun ada juga yang dengan gagah siap melaksanakan.
Disana disebutkan bahwa salah satu syarat kelulusan mahasiswa S1, S2 dan S3 mulai kelulusan Agustus 2012 di Indonesia adalah publikasi di jurnal-jurnal ilmiah untuk S1, jurnal terakreditasi (dianjurkan)  untuk S2 dan jurnal intenasional untuk S3.
Ada beberapa penjelasan lanjutan tentang kebijakan ini yang kemudian memunculkan pertanyaan tentang konsistensinya, tapi paling tidak  orang mulai menghitung-hitung baik buruknya. Apakah ada yang salah dengan kebijakan ini? Sepintas tidak ada dan bahkan baik. Ini bisa baik untuk dunia penulisan Indonesia dan bahkan bisa menyeleksi orang yang bersungguh hati untuk menjadi sarjana.

Lebih lanjut lagi, ini adalah masalah pilihan. Kebijakan adalah masalah pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.  Ini adalah pilihan yang diambil dari Dikti dan mereka (tentu atau diharapkan) mengetahui konsekuensinya.
Ketika yang menjadi masalah adalah rendahnya publikasi sarjana Indonesia, bahkan Dirjen Dikti sendiri menyampaikan tentang perbandingan yang jauh antara publikasi kita dan negara tetangga Malaysia, tentu diperlukan kebijakan khusus untuk memecahkan masalah. Tulisan ini hendak menyampaikan sisi yang menunjukkan bahwa kebijakan ini (bermaksud) baik, tapi belum tentu tepat dilakukan.

Masalah Pilihan dan kualitas
Tidak semua orang perlu menjadi penulis tetap di jurnal-jurnal ilmiah termasuk mahasiswa. Tidak semua mahasiswa S1 dan S2 akan menekuni jalur akademik dan dunia tulis menulis. Ini lagi-lagi masalah pilihan.
Dunia pendidikan umumnya memberikan pilihan bagi mahasiswa S1 dan S2 untuk menempuh jalur riset atau jalur kuliah tatap muka. Ada ilmu-ilmu yang lebih menekankan penguasan kemampuan khusus, seperti ilmu matematika dan teknik, yang bisa jadi tidak meniikberatkan pada kemampuan menulis di jurnal.

Jika syarat kelulusan adalah publikasi, maka sistem akan bekerja untuk memastikan seseorang bisa menerbitkan tulisannya di jurnal. Sebatas itu. Ini kurang lebih sama dengan apa yang diakibatkan oleh sistem ujian akhir nasional yang menjadi salah satu penentu kelulusan siswa. Karena ini syarat kelulusan untuk semua orang akan terfokus pada itu saja.
Takut tidak lulus menjadikan orang membuat tulisan untuk ditampilkan di jurnal, tapi ketakutan itu akan diredam oleh ketersedian jurnal-jurnal yang nantinya akan menampung apapun yang mereka tulis. Dengan kata lain kita melestarikan mediocrity.

Sementara yang dibutuhkan bangsa ini dari perguruan tinggi adalah orang-orang atau jaringan yang secara konsisten dan sadar membaktikan dirinya untuk menekuni dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Bukan mereka yang sekadar sambil lalu. Orang-orang seperti ini sebenarnya banyak, tapi banyak yang tidak muncul ke permukaan, karena mereka tidak berdaya secara ekonomi.

Oleh karena itu jalan yang lebih baik adalah berikan kesempatan yang sama bagi para pencari dan penyebar ilmu ini untuk terus maju dan berkembang.
Di sanalah jawaban bagi mandeknya dunia penulisan di perguruan tinggi kita yang dikeluhkan petinggi Kemendikbud. Kesempatan itu dibarengi dengan penghargaan yang pantas. Ini sekaligus pesan bagi mereka yang tidak produktif menulis bahwa mereka tidak mendapat keistimewaan yang diberikan untuk para penulis dan karenanya mereka akan tertinggal di bidang itu.

Sungguh niat baik dan kebijakan yang bertujuan baik adalah prasyarat bagi kemajuan. Namun itu belum cukup. Lebih penting lagi kita juga butuh kebijakan yang tepat dan utuh untuk bisa memberikan pencerahan.


Sumber: Padangekspres

Get updates in your Inbox
Subscribe